Jika Bukan Menantu Idaman

Wednesday, March 21, 2007

Jika Bukan Menantu Idaman

Konflik Mertua perempuan dan menantu perempuan sering kali terjadi di masyarakat. Citra ibu mertua yang cerewet dan menantu yang cuek menjadi gaung yang tak kunjung padam. Apa saja yang dilakukan sang menantu selalu salah di mata mertua, apalagi bila ia bukan menantu idaman di matanya. Lalu, bagaimana cara menyiasatinya??????
Menurut sosiolog keluarga dari UI, Ida Ruwaidah Noor, menantu idaman merupakan criteria yang dikontruksi oleh masyarakat hingga mengkristalkan ukuran berdasarkan bibit, bebet dan bobot. Saking kakunya dalam mengekspresikan menantu idaman, mereka tidak bisa menerima jika sang menantu tidak masuk kategori tersebut.
Apa jadinya bila sang mertua mendapati kenyataan bahwa yang ada dihadapannya bukanlah menantu seperti yang diharapkannya? Terlontarlah kata-kata seperti”Menatuku tidak bisa masak; memantu kurang sopan santun; atau menantuku tidak bisamenyesuaikan diri dengan keluarga.” Itulah yang acap terdengar diantara obrolan ibu-ibu paruh baya dalam forum arisan.
Perseteruan menantu dan ibu mertua memang sudah menjadi masalah klasik dalam kehidupan berumah tangga. Bisa saja itu berawal ketika sang mertua sudah punya calon istri untuk anak laki-lakinya, tapi kenyataannya sang anak punya pilihan sendiri. Bisa dibayangkan betapa sulitnya upaya sang menantu nonkriteria ini agar dirinya bisa diterima dalam lingkungan keluarga suami. Dengan kondisi seperti ini, tak heran jika diawal perkawinan, konflikpun meletus dengan ibu mertua yang memang merasa kurang sreg dengan menantunya.
Umumnya yang menjadi sorotan adalah kurang harmonisnya hubungan antara menantu perempuan dan mertua perempuan. Menurut Guritna, Psi dari UI, memang sulit menjadi menantu idaman, apalagi jika sang ibu sangat posesif terhadap anak laki-lakinya. Sang ibu merasa takut kehilangan anaknya.
Secara psikologis, konflik yang terjadi antara mertua vs menantu disebabkan tiadanya kontak yang memadai atau kurang akrab sebelum pasangan ini menikah. Jalinan yang kurang erat membuat calon menantu merasa asing dengan calon mertuanya sehingga tak terajut hubungan yang harmonis.
Lalu bagaimana kiat menjadi menantu idaman sang mertua? ”Harus menjadikan mertua sebagai orang tua kita sendiri. Dengan membwerikan hak-haknya untuk dihormati, ditolong dan dikasihi, menunjukkan sikap akhlakul kalimah, meluluhkan hati mertua dengan kelembutan hati, insya Allah akan terbalik menjadi menantu tersayang. Yang tadinya bukan menantu berubah menjadi menantu idaman.
Untuk mengantisipasi atau meminimalkan risiko terjadinya konflik dengan mertua, ada baiknya mengenali karakter calon mertua. Kurang mengenal karakter menjadi kesalahan awal yang sering menjadi bom waktu bernama konflik keluarga di kemudian hari. Penyebab konflik lainnya berupa mertua yang belum sepenuhnya percaya bahwa anak mereka sudah bisa mengurus keluarga mereka sendiri.
Bagi wanita yang berumah tangga di usia yang cukup matang, mungkin dapat menyikapi masalah intervensi ibu mertua dengan cara yang lebih dewasa. Tapi bagaimana jika intervensi semakin menjadi-jadi? Haruskah hubungan asmara diakhiri dengan perpisahan gara-gara intervensi dari ibu mertua tidak lagi tertahankan?
Padahal sejatinya, ketika memutuskan menikah dengan anaknya, tentu saja kita harus ikhlas menempatkan beliau sebagai orang tua, menerima dengan segala bentuk kelebihan dan kekurangannya. Namun untuk sampai ke titik ini pasti juga perlu pengorbanan, perlu banyak belajar keikhlasan dan butuh saling pengertian. Ibu adalah ibu. Dengan terus mencoba mengikis istilah “mertua” ada dampak psikologis yang membuat kedekatan batin antara kedua belah pihak itu, hingga terbentuklah pandangan ibu mertua sebagai layaknya orang tua sendiri.
Namun hal ini tidak boleh dilihat secara mutlak dan terjadi secara cepat. Dalam kenyataan, komunikasi antara menantu-mertua mengkin tidak akan sebebas antara anak-orangtua. Artinya ada hal-hak yang harus dijaga oleh pihak menantu dalam berinteraksi dengan mertua dan demikian sebaliknya.
Dengan demikian kedua pihak tidak boleh saling memaksakan kehendak satu sama lain, karena setiap keluarga punya aturan, didikan, kebiasaan-kebiasaan, dan nilai-nilai yang berbeda-beda. Semua itu tentu saja membentuk karakter, sikap, dan pembawaan individu dalam kesehariannya dan dalam menghadapi masalah. Untuk itu sebelum menikah, sudah selayaknya saling menyelami budaya dari pasangan dan keluarganya. Haruslah disadari bahwa untuk sampai tahap eperti itu pasti dibutuhkan waktu untuk saling menyesuaikan diri dan saling memahami.
Kendati bukan menantu idaman di mata mertua, sebagai pendatang baru dalam keluarga, sang menantu harus bisa menyesuaikan diri. Bagaimanapun juga seorang yang dibesarkan dengan latar belakang yang berbeda, dan aturan yang berbeda, pastinya tidak bisa 100% cocok. Mertua juga harus mengerti bahwa menantunya juga sedang berusaha untuk menyesuaikan diri dengan aturan yang ada. Sang mertua pun juga harus bisa kalau memang ada hal-hal yang berbeda.
Sebaliknya jika memang ada masalah dengan mertua, seharusnya bisa diutarakan kepada suami. Tetepi bukan berarti mengadu, lihat dulu situasi dan disampaikan dengan cara yang tepat. Biar bagaimanapun mertua adalah ibu dari suami, jadi anggaplah ia seperti orang tua sendiri. Meskipun bukan menantu idaman, tunjukkanlah bahwa kita akan menjadi menantu terbaik dimatanya, nantinya.